RSS Feed

Jumat, 12 Februari 2010

Melayani Bencana Alam dengan Iman

Pikiran Rakyat (PR), pernah memberitakan tentang 21 Kabupaten di Jawa Barat berpotensi longsor, Jumat (5/2). Selain itu, bencana banjir masih dan terus terjadi di beberapa daerah. Korban jiwa pun terus berjatuhan. Secara ekonomi dan sosial, kerugian terus bertambah. Belum lagi jika bicara kesehatan baik dampak langsung banjir (dengan mewabahnya berbagai penyakit) dan terganggunya infrastruktur akibat longsor.

Apakah fenomena tahunan ini belum juga membuat kita menginsyafi, bahwa banyak sekali tindakan konyol dan keliru yang telah dilakukan terhadap alam ini? Bahwa pembangunan yang dilakukan atasnama kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, ketika dilakukan tanpa mengindahkan keserasian lingkungan, telah menyimpan bom waktu dan kini saban tahun kita merasakannya.
Bukankah proyek rehabilitasi hutan dananya cukup besar. Namun ironisnya seperti tak berdampak dan tak jelas juntrungannya, kemana dan dimana reboisasi itu dilakukan.
Berbagai kritik dan wacana soal kebijakan pembangunan yang tidak peduli lingkungan sudah banyak dibicarakan. Namun ada sisi lain yang barangkali belum banyak yang mendiskusikan, yaitu dari sisi keimanan, agama apapun itu.
Sebagai manusia beragama, ada baiknya kembali mengingatkan diri, bahwa ada perilaku yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai keagamaan. Sederhana kelihatannya, seperti membuang sampah sembarangan dan yang lainnya.
Dari bencana alam yang terjadi saban tahun, harusnya ada sikap teologis yang dibangun, dibudayakan dan diinternalisasikan dalam setiap kita, sebagai manusia beriman.

Teologi Lingkungan
Dalam beragama, nilai agama harus menjadi sandaran nilai dalam bertindak. Dengan demikian, seluruh tindakan manusia seyogyanya disandarkan kepada nilai agama, karena jika tidak dilakukan, merupakan dosa.
Banjir dan longsor adalah fenomena alam, yang harus diakui pula, cukup besar peran manusia menyebabkannya. Jika dikaitkan dengan agama, bagaimana agama memahami bencana alam tersebut?
Secara historis, bencana banjir dan longsor terkait dengan perilaku manusia yang telah sewenang wenang dan menjadikan dosa sebagai keseharian. Durhaka menjadikan manusia lupa. Akibat dari itu, Tuhan menurunkan azabnya seperti itu terjadi kepada umat nabi Nuh As.
Lebih lanjut, dalam Islam, lingkungan baik itu sosial maupun lingkungan alam merupakan satu kesatuan karena sama-sama merupakan ciptaan Allah Swt. Merusak lingkungan adalah perbuatan dosa.
Secara sederhana, beriman yang utuh bukan hanya dengan melakukan ibadah ritual seperti shalat, puasa dan yang lainnya. Beriman yang utuh juga dicerminkan dengan perilaku menjaga lingkungan alam dari kerusakan. Ini lah inti dasar prinsip teologi lingkungan.
Dalam Islam, merusak alam sangat tidak disukai Allah Swt. Dalam berbagai ayat al-Quran, Allah Swt telah diberikan berbagai peringatan. Misalnya dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum (31): 41 yang menyatakan: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Pada surat lainnya, Allah memperingatkan, bahwa yang membuat kerusakan adalah yang melampaui batas. Misalnya dalam Asy-Syu`araa` (26): 152 yang menyatakan: “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas.”
Ayat berikutnya menyatakan yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan. Sesungguhnya, bukan hanya Islam yang mengajarkan kewajiban menjaga alam, agama lainpun demikian adanya.
Apa yang diperintahkan al-Qur’an untuk memanfaatkan, menjaga dan melindungi alam dari kerusakan itu lah yang disebut teologi lingkungan Islam. Teologi lingkungan diharapkan melahirkan sikap arif kepada alam (kearifan kosmologis). Ada beberapa prinsip teologi lingkungan.
Pertama, iman sejatinya adalah dibuktikan dengan upaya melindungi alam dari berbagai kerusakan. Iman dalam Islam, termasuk di dalamnya membuang duri di jalan. Artinya, jangan pernah merusak alam karena itu sama dengan sikap kafir (pembangkangan).
Kedua, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, tapi manusia lah yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam. Alam diciptakan oleh Tuhan dengan prinsip kausalitas, qadha dan qodarnya. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.
Jika memperhatikan prinsip awal teologi lingkungan, tidak ada istilah pembangunan pemukiman dan kota yang memberikan potensi banjir. Sistem pengairan suatu pembangunan harus diatur dengan sangat baik. Daerah serapan air harus dijaga jangan sampai menjadi perumahan atau dijadikan villa. Demikian juga, sampah harus dikelola dengan baik sehingga tidak menyumbat selokan atau gorong-gorong jalan.
Ketiga, alam tidak pernah menghancurkan manusia, tapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat.
Keempat, dalam konsep teologi lingkungan, alam, tumbuhan, hewan, dan manusia harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya pada hakikatnya tetap. Namun, berbagai pengrusakan alam, pembunuhan hewan, perusakan sumber daya alam membuat terjadinya ketidakseimbangan kosmos. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat, akan merusak ekosistem belahan bumi lain.
Kini, bukan hanya soal kita, tapi generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan akibat bencana alam yang saban tahun datang? Marilah bersama bertindak mengantisipasi bencana dan membangun budaya yang peduli lingkungan. Ini bukan sekedar dosa. Jangan sampai tangis sedih terus mewarnai hidup kita. (PR, 12/2/2010)






Selesaikan Bacanya!......

Senin, 01 Februari 2010

Merindukan Kota Ramah

Membayangkan kota yang hijau, sejuk, tenang, taman kota dimana-mana, ruang publiknya cukup, pasokan air bersih dan listriknya terjamin, serta keamanannya terjaga, rasanya sudah mulai sulit. Di area publik, ketidaktertiban menjadi keseharian. Lihatlah pasar, jalanan, kesemerawutan terlihat nyata.

Akibatnya, warga pun sudah imun (kebal) dan ikut-ikutan melakukan kebiasaan buruk. Membuang sampah sembarangan, berjualan di pinggir jalan atau trotoar, atau tidak mau memberikan kesempatan ke penyebrang jalan padahal di zebra cross dan perilaku tidak ramah lainnya.
Dari parameter ini, dapat dikatakan, kota Bandung, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia telah menjadi kota yang tak ramah. Polusi udara, kesemerawutan tata kota, tiadanya ruang publik (jika pun ada sudah pada rusak), sampah yang menggunung, banjir yang saban tahun mengintai dan keamanan yang tak terjamin.

Revolusi BudayaDalam banyak kesempatan melakukan perjalanan di dalam Kota Bandung, dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), sebuah pertanyaan menggugat kerap muncul, benarkah orang Indonesia itu ramah? Pertanyaan ini hadir ketika melihat fenomena pengguna jalan yang ugal-ugalan, tak mau mengalah, bunyi klakson yang nyaring bersahutan disertai dengan asap hitam dari knalpot mobil angkutan umum yang telah penuh namun terus menaikkan penumpang.
Apakah ini fenomena sosial budaya masyarakat di negara berkembang? Ya, ini merupakan salah satu fenomena sosial masyarakat berkembang. Dari sisi psikologi sosial, ini merupakan bentuk protes, apatisme, frustasi dan kemarahan serta kebosanan atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan warga.
Jika pejabat atau kelompok sosial tertentu yang lewat, jalan pun lenggang tak macet karena dikawal aparat. Sementara, warga yang nota bene sebagai pemilik sah kedaulatan republik ini harus siap berdesak-desakan ketika ingin kendaraan umum, panas-panasan atau hujan-hujanan di jalan, terpaksa di selasar rumah sakit karena tak mampu membayar ruang VIP.
Menggunakan sepeda hanya buat badan kotor dan berdebu saja karena tidak ada jalur khusus yang disediakan. Penyandang cacat, anak-anak dan orang tua, lebih baik diam saja di rumah, karena sedikit ruang publik yang mengakomodasi kebutuhan mereka.
Disparitas sosial yang semakin lebar menyebabkan frustasi sosial. Semuanya pun ingin jadi penguasa. Maka lihatlah di jalanan, semuanya bergerak kencang, pengendara motor, mobil pribadi, angkutan umum pun senang ugal-ugalan. Mereka saling salip dan tak ada kesempatan bagi pejalan kaki atau pengendara sepeda.
Warga akan sakit jika kotanya tidak ramah. Tentu saja bukan sekedar sakit dari sisi medis, tapi secara sosial dan budaya. Karena itu, diperlukan suatu gerakan kebudayaan dalam bentuk revolusi.
Revolusi kebudayaan meliputi pembenahan aturan dan penegakkannya. Dalam hal ini, tugas pemerintah pusat dan daerah yang melakukan penertiban. Jangan pernah mau jadi kacung dari para cukong. Memang akan sulit jika pemerintahannya korup.
Revolusi budaya juga meliputi upaya membangun budaya tertib, anti korupsi dan peduli lingkungan. Awalnya bisa dengan menegakkan hukum. Namun, selanjutnya akan menjadi kebiasaan (budaya) hidup tertib. Pelayan publik tahu diri sehingga tidak sengaja mempersulit dan mau disuap. Warga yang mengurus berbagai keperluan juga tidak mau menyuap.
Revolusi budaya juga berarti merevitalisasi nilai agama dalam keseharian. Semua agama mengajarkan bahwa ciri orang beriman adalah hidup dengan tertib, menjaga lingkungannya selalu bersih dan aman.

Revitalisasi Kota Kota ramah menjadikan warganya dapat memenuhi seluruh hak dasarnya dalam bidang pelayanan publik. Pemimpin di kota ramah menyadari benar, yang harus dilayani adalah seluruh warga kota dari berbagai golongan dan kelompok sosial. Jadi, tidak ada alasan untuk berpihak kepada cukong atau pemilik modal dengan mengesampingkan hak warga atas ruang publik dan berbagai pelayanan umum lainnya. Warga lah yang menjadi pemilik sah kota atau daerah tersebut.
Kota ramah mengandung beberapa ciri. Pertama, tersedianya ruang publik yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk untuk anak-anak, penyandang cacat dan orang tua. Ruang publik itu antara lain; taman kota tempat bermain, sarana olah raga, trotoar yang khusus untuk pejalan kaki (utamanya untuk penyandang cacat dan orang tua), gedung yang terpenuhinya prasyarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) juga tersedianya jalur khusus sepeda. Termasuk di dalamnya area untuk melakukan demonstrasi dan menyampaikan berbagai kritik dan masukan dari warga kota kepada pemimpinnya. Ketersediaan listrik dan air bersih pun tercukupi. Pemukiman sehat bagi warga miskin tersedia.
Kedua, efektifnya berbagai peraturan yang menertibkan warga. Aturan soal membuang sampah, merokok dan yang terkait dengan ketertiban umum harus ditegakkan.
Ketiga, berbagai kebutuhan ekonomi terpenuhi dengan baik. Pedagang Kaki Lima (PKL), toko-toko, mini market, pasar tradisional dan hyper market diatur sedemikian rupa sehingga keberadaannya tidak menimbulkan kemacetan dan tidak mengotori lingkungan.
Keempat, kota yang ramah adalah kota yang kegiatan politiknya efisien. Pemilihan langsung yang dilakukan telah memberi ruang untuk melakukan kontrak politik dengan para pemimpin politik kota. Namun, entah rakyatnya sudah lupa atau bosan menagih janji kampanye, atau pemimpin yang terpilih bebal dan tak tahu malu melupakan janji soal pelayanan publik yang akan disediakan jika dirinya terpilih.
Kegiatan politik yang efisien juga ditandai dengan adanya tempat berdemonstrasi dan pusat keramaian. Demikian juga, dalam pelayanan berbagai perizinan dan kepentingan warganya, semuanya serba cepat, mudah dan murah.
Kelima, keamanannya terjamin. Bukan preman atau suruhan oknum aparat keamanan yang jadi penguasanya. Kota ramah menjadikan aparat hukumnya berwibawa. Semuanya tentu perlu pembiasaan, pengawasan dan teladan dari para pemimpinnya. Harus ada gerakan kebudayaan. Mimpi mungkin ini akan tercipta. Tapi jika tidak dimulai dari sekarang dan oleh diri kita, kapan lagi kota ramah akan tercipta.






Selesaikan Bacanya!......

Kamis, 03 Desember 2009

Kearifan Pada Alam

Bencana gempa di berbagai daerah yang sudah dan masih mengintai, ancaman banjir, dan fenomena perubahan iklim global memberikan pemahaman bahwa alam tidak bisa dikuasai. Alam harus menjadi mitra dan sahabat dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi ini.
Tentunya ini bertentangan dengan konsep kosmologi sains modern yang memahami alam hanya sebagai obyek. Obyek untuk diteliti, dieksploitasi bahkan dihancurkan. Itu lah paradigma Cartesianisme, yang menganut logika oposisi biner, subjek-objek, hitam-putih.
Akibatnya, alam rusak oleh keserakahan manusia. Atasnama keuntungan ekonomi, sumberdaya alam dieksploitasi. Iklim terus berubah, bencana alam terjadi dimana-mana. Bukan alamnya yang marah, tapi manusia berada di posisi yang bertentangan dengan aturan alam yang sudah ada semenjak alam ini diciptakan (hukum alam). Jangan marah jika banjir, karena hutan dirusak dan pembangunan perumahan tidak memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan.
Lihatlah di Jawa Barat, betapa banyak hutan yang rusak. Bandung yang dulu dikenal sejuk, kini sudah mulai terasa panas. Padahal, dulu Bandung disebut Paris Van Java. Kota dimana para inohong Belanda berwisata, menikmati keindahan alam Bandung yang sejuk, segar, sehat dan tentunya membuat betah untuk tinggal.
Kini, kalau kita perhatikan wilayah utara Bandung, pembangunan perumahan yang serampangan membuat daerah resapan air itu pun rusak. Tangkuban Perahu pun mau dimanfaatkan, tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Lihat juga sungai yang mengalir di Jawa Barat. Bisa dihitung jari, sungai yang masih bersih. Limbah pabrik dan rumah tangga yang tidak dikelola, telah merusak ekosistem alam. Maka, jangan marah jika bencana siap mengintai setiap saat.

Kearifan lokal
Manusia modern telah melupakan nilai hidup yang telah lama diajarkan nenek moyang. Nilai hidup itu bernama kearifan lokal. Pada level diskursus filsafat, kearifan lokal adalah salah satu model filsafat abadi (perennial). Disebut filsafat perennial, karena konsep dasarnya sudah ada semenjak manusia berfilsafat. Sementara, saat ini karena dominasi filsafat modern yang melupakan nilai-nilai tradisional, keberadaannya menjadi kurang mendapatkan perhatian. Saatnya manusia menyadari bahwa paradigma sains modern yang materialistik sudah tidak bisa menjawab persoalan.
Dalam konsep filsafat perennial, alam dan manusia dipahami sebagai makro dan mikro kosmos. Keduanya memiliki akar yang sama, produk kreatif Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, maka tak ada yang berhak merusak satu sama lain. Makro dan mikro hanya soal peran saja. Keduanya harus saling menjaga, melindungi dan membangun harmonisasi. Merusaknya berarti mengingkari hakikat awal penciptaan. Makro dan mikro harus saling melengkapi. Namun karena manusia diberi kewenangan untuk mengelola alam, yang dibolehkan adalah memanfaatkan dan tetap menjaga keberlangsungannya.
Wacana soal hubungan makro dan mikro kosmos menjadi perhatian para intelektual dunia dewasa ini. Agama dan nilai tradisional yang semula dipinggirkan oleh sains modern, kini mulai mendapatkan tempat dan ikut mewarnai. Muncul lah berbagai upaya mencari titik temu antara sains, agama dan nilai tradisional masyarakat.
Dalam level yang praktis, mengakar dari semenjak nenek moyang, kearifan lokal jangan dipandang sebelah mata. Dalam konteks keseimbangan alam, kearifan lokal yang berkembang mengajarkan arti penting menjaga alam. Konsep hutan larangan dan berbagai adat istiadat di masyarakat banyak memberikan informasi kepada kita bahwa alam itu diyakini harus dijaga sepenuhnya. Konsep huluwotan (sumber mata air), tempatnya jin atau makhluk ghaib lainnya adalah strategi pencegahan cerdas yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Tapi kini, manusia lebih jahat dibanding jin, sehingga tidak takut dengan berbagai pamali (larangan dalam masyarakat Sunda), akibatnya alam pun dirusak.
Misalnya dalam tradisi Sunda, ada pepatah yang menyatakan mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik itu harusnya yang perlu dipetik saja, mengambil harus memberitahu). Pepatah ini bukan hanya soal jangan mencuri kepada pemiliknya, tapi harus memperhatikan alam. Bukan hanya kepada pemiliknya, manusia. Tapi juga kepada pencipta awalnya, yaitu Tuhan. Jadi, ketika memanfaatkan alam, tanaman atau pun sumberdaya alam, harus diperhatikan keseimbangan ekologis, kelanjutannya (jangan mengambil yang masih kecil atau yang baru tumbuh), dan kelestariannya.
Secara global, soal ini menjadi isu perubahan iklim global (climate change). Kondisi dimana dunia ini sudah mulai rusak akibat rusaknya lingkungan. Hutan rusak oleh industri kertas yang serakah, laut rusak oleh sampah dan limbah nuklir, sungai dan air semakin rusak karena dimanfaatkan tanpa diperhatikan keseimbangannya.

Pendosa Besar
Sudah saatnya, kembali memperhatikan nilai agama dan kearifan lokal sebagai prinsip kearifan kepada alam. Ada beberapa prinsip kearifan kepada alam yang bisa dirumuskan.
Pertama, dalam konsep pembangunan, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, tapi manusia lah yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam. Alam diciptakan oleh Tuhan dengan prinsip kausalitas, qadha dan qodarnya. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.
Pembangunan tak boleh merusak alam. Jika memperhatikan prinsip awal kearifan kepada alam, tidak ada istilah pembangunan pemukiman dan kota di wilayah rawan gempa. Demikian juga, desain bangunan yang dibuat, tentunya akan menyesuaikan dengan potensi gempa. Bangsa Jepang terbukti mampu membuat model bangunan yang tahan gempa. Masyarakat kampung Naga, di Tasikmalaya terbukti memiliki kecerdasan lokal dalam memahami bencana gempa.
Prinsip berikutnya adalah, alam tidak pernah menghancurkan manusia, tapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat. Perusak alam, dalam perspektif teologi kearifan kosmologis adalah pendosa besar. Iman kepada qadha dan qadar salah satu pembuktian imannya adalah dengan tidak merusak alam.
Prinsip ketiga dalam konsep kearifan alam adalah bahwa makro dan mikro kosmos, yaitu lingkungan, tumbuhan, hewan, dan manusia harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya pada hakekatnya tetap. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat, akan merusak ekosistem belahan bumi lain.
Alam kita telah rusak, jangan terus menambah kerusakan. Kini, bukan hanya soal kita, tapi generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan?







Selesaikan Bacanya!......

Selasa, 17 November 2009

Kuasa dan Kebenaran Dalam Wacana Cicak Lawan Buaya

Teater politik dan hukum Indonesia masih didominasi episode cicak melawan buaya. Siapa yang menang dan kalah, endingnya belum dapat diketahui. Demikian juga, siapa yang terlibat, yang menjadi dalang, yang menjadi martir atau dikorbankan, publik belum bisa menyimpulkan.

Namun, di tengah ramainya pentas teater itu, para facebooker membuat kejutan dengan memberikan dukungan atas pembebasan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Suatu dukungan yang hingga tulisan ini dibuat, jumlahnya sudah 1,2 juta lebih. Untuk sementara, pemenang dari teater cicak lawan buaya adalah facebooker itu sendiri.
Dari berbagai ulasan yang dibuat terkait soal cicak lawan buaya, suatu wacana yang diproduksi oleh Polri dan diralat oleh Kapolri, penulis melihat ada yang luput dari perhatian, yaitu keterkaitan antara kuasa, wacana dan produksi kebenaran. Suatu fakta baru, bangkitnya kekuatan sipil yang dalam ekspresi politiknya menggunakan media facebook.
Bentuk keterbukaan informasi dan pandangan politik masyarakat yang terbuka dan bebas. Terbuka dan bebas karena tidak adanya aturan main (rule of games) yang bisa diatur dan dicurangi oleh kelompok kepentingan tertentu. Setiap orang dapat menyampaikan idenya dan tak ada satu institusipun yang berhak untuk menutupnya. Facebooker merdeka kepada dan untuk dirinya sendiri. Jika media massa masih bisa dikangkangi oleh kepentingan pemilik modal, maka facebooker tak dapat disumbat. Karena jika pun disumbat, ada media lain yang bisa dijadikan media seperti twitter dan yang lainnya.

Kuasa
Michel Foucault, salah satu filosof Prancis terkemuka menyatakan, saat ini, kuasa bukan lah milik seseorang, seperti raja atau pejabat, tapi strategi. Kuasa dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami berbagai pergeseran.
Kita bisa melihat dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan dan sistem-sistem regulasi. Itu lah bentuk kuasa dan di situ kuasa sedang berkerja. Kekuasaaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa memproduksi realitas, memproduksi lingkup-lingkup, objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Menghukum dan membentuk publik lewat opini. Publik tidak dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana
Kuasa dalam pentas teater cicak lawan buaya diproduksi oleh facebooker dan media massa baik cetak dan elektronik yang secara masif memberitakan perkembangan kasus tersebut. Facebooker memperteguh kuasanya dengan melipatgandakan jumlah pendukung. Suatu pembuktian atas tesis yang menyatakan media massa sebagai salah satu pilar demokrasi di tengah mandulnya gerakan politik di parlemen. Hal ini juga menunjukkan bahwa civil society (masyarakat sipil) terus melakukan edukasi dan pencerdasan atas dirinya. Suatu fakta menggembirakan sekaligus ironi. Menggembirakan karena publik menunjukkan dirinya sudah tidak bisa dibodohi lagi. Di sisi lain, menjadi ironi karena diam-diam telah terjadi delegitimasi dan semakin melemahnya kepercayaan publik kepada aparat hukum.
Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, Kepolisian, Tim 8 dan Kejaksaan hanyalah salah satu produsen kuasa yang terbukti tak berkutik menghadapi dominasi facebooker yang kekuatannya terus membesar di setiap menit seiring semakin banyaknya yang bergabung.

Wacana
Menurut Foucault, setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu menimbulkan efek kuasa.
Produksi wacana berkait bagaimana terbentuknya bangunan wacana. Produksi wacana selalu berkaitan dengan realitas. Realitas tidak bisa didefinisikan jika tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Wacana membentuk dan mengkonstruksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali dalam kebudayaan tertentu.
Dalam teater cicak lawan buaya, wacana yang diproduksi kepolisian dikalahkan dengan telak oleh wacana yang dibangun media massa dan facebooker. Suatu realitas yang tidak terbantah sebagai salah satu bentuk demokratisasi dan menguatkan kekuatan sipil (civil society). Facebooker telah menjadi wacana dominan, mainstream dari wacana cicak lawan buaya. Wacana yang dibangun oleh selain itu tenggelam tak terdengar. Terciptalah wacana, Kepolisian dan Anggodo salah. Sementara, Bibit dan Chandra tertindas, benar dan harus dibela. Kepolisian pun dihakimi dan KPK pun dibela. Walau tentu faktanya belum tentu demikian. Semuanya masih mungkin terjadi, hanya Tuhan dan pelakunya yang tahu. Namun, wacana yang terbentuk telah memberikan kesimpulan bahwa Bibit dan Chandra tidak menerima suap dan KPK harus dibela. Di tengah carutmarutnya sistem hukum di Indonesia, gerakan facebooker tersebut seperti oase yang membuat dahaga akan keadilan dan kebenaran sejenak terpuaskan. Karena lembaga hukum yang seharusnya memproduksi keadilan dan kebenaran terbukti telah dikangkangi oleh segelintir manusia serakah yang kemaruk dengan harta.

Produksi Kebenaran
Kuasa menjamin perbedaaan antara benar dan tidak benar. Ada berbagai prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran. Dukungan 1,2 juta lebih facebooker adalah prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran tersebut.
Prosedur dan model penebaran kebenaran tersebut harus dilihat sebagai bentuk baru yang bisa jadi akan menjadi strategi berbagai kelompok kepentingan di masa yang akan datang.
Memang hanya sekian persen dari total penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta. Tapi itu semua merupakan ekspresi politik kelas menengah. Ingatlah, perubahan sosial politik baik dalam bentuk reformasi maupun revolusi dilakukan oleh kelas menengah. Suatu produksi kebenaran yang akan memiliki dampak sosial politik dan ekonomi.
Jika dukungan tersebut adalah bentuk kekecewaan publik atas penegakkan hukum, akan melahirkan ketidakpercayaan publik baik di dalam maupun luar negeri. Jelas, berdampak kepada investasi di satu sisi. Di sisi lain, bisa berdampak kepada meningkatnya kebrutalan masyarakat dalam menyelesaikan perkara hukum karena tidak adanya institusi yang diyakini dapat memberikan keadilan. Karena itu, kita berharap rekomendasi Tim 8 akan memberikan masukan yang tepat kepada Presiden sehingga dapat mengambil langkah tepat dan cepat untuk mengakhiri kemelut hukum ini.
Terlepas dari fakta dan data yang nantinya akan diungkap oleh Tim 8, kini, produksi kebenaran telah diambilalih oleh dunia maya, facebook. Suatu bentuk baru dari produksi kebenaran yang menghakimi sistem pengadilan kita karena selama ini dituding hanya menjadi bahan permainan para mafioso pengadilan.
Facebooker telah menyatukan visinya untuk menjadikan Indonesia yang berkeadilan secara hukum. Suatu bentuk pengambilalihan peran yang tragis, karena seharusnya peran ini dilakukan oleh aparat hukum.
Sebegitu parahkah sistem hukum Indonesia, facebooker telah menghakimi dan memutuskannya. Kini kembali kepada Presiden, sejauhmana upayanya yang tegas dan adil dalam menyelesaikan kemelut ini. Atau, bisa jadi gerakan facebooker berubah menjadi gerakan mendelegitimasi kekuasaan yang sedang menyemai kinerja 100 hari pertama. Jangan sampai ini terjadi, karena pertumpahan darah mungkin terjadi dan bangsa ini kembali mundur ke pusaran sejarah konflik yang membuat bangsa ini lambat bangkit. Ini lah tantangan KIB II untuk “memproduksi kebenaran rasa publik” dan sesuai rasa keadilan publik.




Selesaikan Bacanya!......

Kemana Idealnya Arah Pendidikan Islam?

Jika Aa Nafis menulis novel runtuhnya surau kami, maka jika kita mau jujur, saat ini ‘lampu kuning’ pendidikan tengah menyala, karena bisa jadi runtuhnya madrasah (baca: lembaga pendidikan) akan terjadi.


BANYAK contoh yang menggambarkan keruntuhan madrasah itu tengah terus terjadi. Bicara kualitas, belum banyak keluarga atau pun lembaga pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi, hanya bisa dihitung jari. Bahkan, tak sedikit, lembaga pendidikan yang harus gulung tikar, atas sekedar ada saja.

Akibatnya, produk pendidikan Islam dinilai gagal menghadapi realitas sejarah. Tantangan zaman yang menuntut kesanggupan mental, skill dan keterampilan yang mumpuni belum sepenuhnya bisa dihadapi. Bukan sekedar kecerdasan intelektual dan keterampilan, tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual harus dimiliki produk pendidikan Islam.

Celakanya lagi, terdapat pemahaman keliru, bahwa pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal dan informal. Padahal pengertian lembaga pendidikan Islam termasuk di dalamnya adalah keluarga. Justru keluarga itu lah sebagai tempat inti terjadinya proses pendidikan setiap saat. Bahkan, pendidikan itu sudah dimulai semenjak sang ibu membangun komunikasi penuh cinta dengan sang bayi yang masih di kandungan.

Memang, masih ada keluarga yang menjadi basis pendidikan Islam. Sudah banyak juga lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang melakukan transformasi diri. Namun jumlahnya belum banyak dibanding kebutuhan. Karena jika dilakukan perbandingan, jumlah umat Islam tidak sebanding dengan jumlah lembaga pendidikan Islam berkualitas.

Jika demikian, kemana idealnya arah pendidikan Islam? Sebuah pertanyaan yang menggugat sekaligus mengingatkan kepada kita semua sebagai stakeholder pendidikan Islam, tentang pentingnya merumuskan kembali konsep pendidikan Islam dengan basis epistemologi yang cocok, ideal.

Dalam seminar internasional bertajuk Epistemologi Dalam Perspektif Islam; Teori dan Aplikasinya Dalam Institusi Pendidikan Tinggi, yang diselenggarakan UIN Bandung, 13 November 2009. Sebagai pembicara, hadir Osman Bakar, Deputy CEO, International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia; Ahmad Tafsir, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIN Bandung dan Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung.

Disimpulkan bahwa peradaban dibangun oleh epistemologi. Praktik epistemologi salah satunya ada dalam pendidikan, lebih praktis lagi ada dalam kurikulum. Dalam praktik nyatanya, orang tua, guru dan dosen menjadi pelaku, mediator dari basis epistemologi tersebut. Pendidikan adalah model transformasi nilai, epistemologi dan pengetahuan antar generasi. Pendidikan adalah sistem keadaban yang ada semenjak manusia ada, diciptakan. Modelnya dari pendidikan sederhana sampai yang sifatnya bertingkat. Akarnya adalah epistemologi.

Namun, soal ini, rupanya sebagian besar pelaku pendidikan banyak yang tidak menyadari atau mungkin tidak memahami. Akibatnya, produk pendidikan Islam atau pendidikan Indonesia seperti kebingungan dan hanya bisa mengekor dengan konsep pendidikan yang basis epistemologinya berasal dari Barat. Terlebih, di lingkup keluarga, sebagai lembaga pendidikan inti, dominasi tayangan televisi telah menjadi guru baru yang menguasai kesadaran dan pengetahuan keluarga.

Osman Bakar, Ph.D dalam paparannya menyatakan semua kebudayaan dan agama, memiliki basis epistemologinya sendiri-sendiri. Karena itu, keliru jika dengan serta merta dan tanpa sikap kritis mengambil epistemoli dari peradaban Barat. “Tak mungkin kita memiliki epistemologi yang unggul tanpa memiliki kosmologi (pandangan dunia tentang alam) dan psikologi (pandangan dunia tentang manusia) yang komprehensif,” katanya.

Lebih lanjut, Osman menyatakan, kosmologi dan psikologi Islam dibangun dengan prinsip tauhid. “Kita bersedia untuk mengambil dari berbagai sumber, selama itu cocok dengan semangat tauhid yang menjadi konsep keimanan umat Islam,” tegasnya.

Pengetahuan dan kebenaran, lanjut Osman, sangat penting dalam prinsip epistemologi Islam. “Islam adalah agama pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut kebenaran. Ilmu dan kebenaran adalah dua asmaulhusna yang penting,” ujarnya.

Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung yang juga pembicara seminar tersebut menegaskan bahwa tidak perlu lagi ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dengan prinsip dasar ini, semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam harus didasarkan juga pada nilai-nilai agama, tauhid. “Semua ilmu dikembangkan dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt, baik dalam bentuk ayat qauliyah (al-Quran) dan ayat kauniyah (alam semesta). Mempelajari ilmu itu dalam rangka pengabdian diri sebagai khalifah dan abdi Allah di bumi ini,” tegasnya.

Dapat disimpulkan, basis epistemologi pendidikan Islam adalah tauhid. Dengan prinsip tauhid, tidak perlu lagi ada dikotomi antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kepribadian yang terbelah dari produk pendidikan Indonesia .

Dalam praktiknya, seluruh lembaga pendidikan Islam, termasuk di dalamnya keluarga, harus merumuskan ulang model pendidikannya. Mulai dari merumuskan epistemologi, kurikulum, Satuan Acara Perkuliah/Pengajaran, dan bahan ajar. Dalam keluarga, sistem pendidikan keteladanan dan peran orang tua dalam mendidik anak sangat vital.

Mungkin rumit, namun harus dimulai dan dilakukan. Atau pendidikan Islam akan semakin dibanjiri oleh sistem yang keliru, memproduk manusia yang gagal. Akibatnya peradaban menjadi peradaban gagal. Seperti sesaknya hati kita melihat carutmarut hukum di negeri ini. Sebagaimana muaknya kita melihat korupsi yang terjadi dimana-mana. Sadar atau tidak, itu produk pendidikan yang keliru.

Seperti pohon, akarnya harus benar, disiram dan dipupuk yang tepat. Dengan demikian, tumbuhnya pun akan baik dan buahnya akan lebat dan bermanfaat. Demikianlah pohon pendidikan Islam harus tumbuh, bukan hanya di dalam lembaga pendidikan formal, resmi seperti pesantren, universitas, sekolah, tapi juga dalam keluarga.

Kini, kembali kepada diri kita semua. Haruskah pendidikan Islam yang ditopang oleh keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan harus semakin tenggelam oleh model pendidikan yang salahkaprah? Marilah memulai dari diri kita, saat ini, dan dari hal yang kecil. Selamatkan generasi muda dari kekeliruan pendidikan, karena masa depan umat ada ditangan kita. Jangan warisi mereka tradisi kebodohan.



Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.