Jumat, 06 Februari 2009

Takut Gagal? Kampungan Luh

Jika hari ini lebih baik dari kemarin, berbahagialah kita. Jika sama dengan kemarin, maka rugilah kita. Usia berkurang, tapi tidak kemajuan. Karena itu, harus ada upaya keras agar terus menjadi yang terbaik.

Seperti tololnya kapitalisme yang menggunakan uang kartal sebagai alat tukar. Kertas dan logam tak berharga itu, karena dijaga dan diberikan nilai yang dijamin negara menjadi berharga. Padahal, walapun nilainya triliunan, hanyalah setumpukan kertas yang nilai intrinsiknya sama dengan kertas biasa. Jadilah pasar uang sebagai ajang spekulasi dan menjadikan banyak manusia tak berdaya dan tak berdosa semakin miskin.
Ingatlah harga semangkuk mie bakso. Jika waktu sebelum tahun 90-an, harganya hanya Rp 25 atau bahkan Rp 10, kini harganya sudah Rp 5000. Jauh benar nilainya. Kalau halnya demikian, rugilah kita jika nilai kita hanya Rp 25 atau Rp 50. Karena jika hidup tahun 2009, uang Rp 50 itu bahkan sudah tidak ada lagi untuk bakso semangkuk, alias tidak laku, walau masih ada diangka.
Bangsa ini masih punya harapan untuk bangkit jika saja mereka kekuatan penggerak yang punya semangat baja untuk bangkit, tumbuh dan terus bertumbuh diberi ruang yang luas. Mereka para laskar pelangi yang siap untuk maju dan mengabdi.
Namun memang kini masih ironis, penyakit pengganggu masih ada yang lain. Penyakit itu adalah, jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?
Ini soal pelayanan publik. Ini soal suap-menyuap. Ini soal sikap mental yang senang menjadi preman kecil dan besar, malak, mengutip duit dari kewenangan yang bisa diberikan.
Apakah karena gajinya yang kecil atau karena budaya serakah, konsumeris dan hedonis yang menguat. Budaya gengsi dan merasa iri jika saudara, tetangga atau teman ada yang lebih maju dan kaya. Ketika uang menjadi Tuhan, kebahagiaan hanya diukur dari kekayaan materi dan duniawi semata.
Penyakit mempersulit obatnya adalah kesadaran arti pentinya pengabdian dan pelayanan. Karena kesadaran, maka solusinya harus mengubah persepsi. Soal ini, tak cukup dengan menaikkan gaji sesuai dengan kebutuhan hidup, bimbingan mental dan spiritual juga harus ditekankan. Lebih penting lagi reward and punishment kepada pelayan terbaik dan terburuk.
Terkait dengan pelayanan publik, kita berharap peran KPK tidak sekedar mensurvey dan memperingkat, tapi juga melakukan pemberantasan dan pencegahan atas berbagi praktik suap dan pungutan liar yang tumbuh berkembang. Karena ini menjadi salah satu penyakit dan menyebabkan produktivitas kurang.
Produktivitas itu, tidak lahir oleh sikap mental dan budaya individu semata, tapi oleh lingkungan dan sistem budaya serta pelayanan yang dibuat. Apakah produktif, jika seharian harus berada di kantor Kelurahan untuk mengurus pembuatan KTP saja, misalnya. Kita kan jadi rugi waktu dan peluang. Akibatnya, daripada ribet, lebih baik pake jasa orang ketiga yang ngurus. Lahirlah praktik-praktik suap disini.
Sekali lagi, reward and punishment menjadi penting dalam hal ini. Demikian juga, penyediaan fasilitas yang memudahkan akses semua orang atas suatu hal. Bagaimana bisa buru-buru, kalau jalannya macet dan rusak? Bagaimana bisa efektif mengajar jika fasilitas mengajarnya tidak cukup? Bagaimana bisa cepat buat SIM, jika sistemnya dibuat susah dan berbagai kasus pelayanan publik yang harus diakui masih buruk.
Ayo berkaca kepada diri sendiri, ayo kita lawan praktik mempersulit orang lain demi jatah preman, duit portal karena kita penguasanya. Karena duit seperti itu tidak halal. Dimakan anak istri hanya akan menjadi penyakit malas, membangkang, bodoh dan berbagai problem rumah tangga lain. Sayang, soal ini tak banyak diantara kita yang yakin.
Selain itu, kita semua harus bersama-sama melawan berbagai upaya menyuap. Ingat kampanye kepolisian dipinggir jalan? "Penerima dan pemberi suap sama-sama melanggar hukum". Katakan tidak kepada mereka yang meminta jatah preman.
Peran lain adalah dari sisi penegakan hukum dan pemerintahan. Bukan rahasia lagi, berbagai pengurusan ijin membutuhkan biaya x rupiah. Sekali lagi, akibatnya Indonesia menjadi semakin tidak menarik. Serius dong berantas soal ini, karena bagaimanapun menjadi penyakit akut yang sangat merugikan perekonomian bangsa.
Kondisi ini yang kini menjadi salah satu penyakit kita sebagai bangsa Indonesia. Sebagai anak bangsa, mari bersama berlomba menjadi yang terbaik, tentu dengan cara yang benar baik secara hukum maupun agama. Atau kalau susah mencari ukurannya, pakelah hatinurani.
Katakan tidak pada penyuapan. Lawan segala bentuk penyakit yang mempersulit. Buanglah duri di jalan, karena itu sebagian dari iman. Buanglah berbagai penghalang kemajuan dan kejayaan, karena buahnya, walau tidak dinikmati saat ini, anak cucu yang akan menikmati. Atau, akan kita wariskan dosa dan setumpuk persoalan. Lalu bangsa bernama Indonesia ini menghilang. Yang ada tinggal bangsa Aceh, Papua, Medan, Sunda dan sebagainya.
Pada lingkup kecil seperti perusahaan, menjadi lebih baik dari kemarin akan mendorong perusahaan semakin maju. Kalau tidak, siap-siaplah di-PHK, atau paling tidak karir jalan ditempat. Terlebih krisis global yang kini sudah terasa menyebabkan melambatnya ekonomi. Pertumbuhan ekonomi 4-5 persen adalah angka yang realistis.
Pada lingkup lebih kecil lagi seperti keluarga, menjadi lebih baik dari kemarin akan meneguk kebahagiaan dan kehormatan. Kalau tidak, ketidakharmonisan dan perceraian akan segera tiba.
Evaluasi, mengkritisi sendiri, belajar dan terus meningkatkan kemampuan adalah kuncinya. Jika pun Anda merasa tidak berguna karena saat ini hanya sebagai pengangguran, bukan PNS atau karyawan swasta besar, bukan berarti kiamat. Terusmeneruslah belajar, karena kebaikan yang ditanam adalah investasi yang buahnya pasti akan dipetik suatu saat, jika tidak saat ini. Beramal kebaikan pasti dibalas 700 keberkahan. Kebaikan itu macam ragamnya. Anda menulis dan membaca tulisan ini pun adalah ibadah. Anda berjalan ke luar rumah untuk mencari rizki yang halal, walaupun akhirnya tidak mendapatkan apa-apa, itu adalah ibadah. Anda memberikan minum anjing kehausan pun adalah ibadah. Ibadah itu bukan sekedar shalat, kebaktian ke gereja atau menyembah Tuhan. Ibadah artinya menemukan eksistensi diri, melayani diri, orang lain, lingkungan, alam dan Tuhan.
Dengan begitu, kita akan menjadi manusia yang terus memanusia. Bukan sekedar ada, tapi benar-benar Ada. Nilai kita terhadap hidup tak harus mengalama tekanan inflasi tinggi, tapi di level yang wajar saja. Dengan begitu, hidup ini lebih bermakna, bermanfaat dan memberi added value kepada banyak orang. Khoirunnas Anfaúhum linnnas. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain.
Bagaimana kita bisa bermanfaat jika kehidupan sendiri saja payah, tak berdaya dan mengharapkan belas kasih orang terus. Berusaha, gagal adalah pilihan saja. Karena tidak semua usaha akan berhasil. Sam Walton, pendiri Wal-Mart mengingatkan, rayakan sukses Anda dan temukan humor dalam kegagalan Anda. Jangan terlalu serius. Rileks dan orang-orang disekitar Anda akan rileks. Bersenang senang dan selalu tunjukan antusiasme. Jika semua ini gagal, kenakan kostum dan nyanyi lagu gila-gilaan. Takut gagal? Kampungan luh.



0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.