Kamis, 03 Desember 2009

Kearifan Pada Alam

Bencana gempa di berbagai daerah yang sudah dan masih mengintai, ancaman banjir, dan fenomena perubahan iklim global memberikan pemahaman bahwa alam tidak bisa dikuasai. Alam harus menjadi mitra dan sahabat dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi ini.
Tentunya ini bertentangan dengan konsep kosmologi sains modern yang memahami alam hanya sebagai obyek. Obyek untuk diteliti, dieksploitasi bahkan dihancurkan. Itu lah paradigma Cartesianisme, yang menganut logika oposisi biner, subjek-objek, hitam-putih.
Akibatnya, alam rusak oleh keserakahan manusia. Atasnama keuntungan ekonomi, sumberdaya alam dieksploitasi. Iklim terus berubah, bencana alam terjadi dimana-mana. Bukan alamnya yang marah, tapi manusia berada di posisi yang bertentangan dengan aturan alam yang sudah ada semenjak alam ini diciptakan (hukum alam). Jangan marah jika banjir, karena hutan dirusak dan pembangunan perumahan tidak memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan.
Lihatlah di Jawa Barat, betapa banyak hutan yang rusak. Bandung yang dulu dikenal sejuk, kini sudah mulai terasa panas. Padahal, dulu Bandung disebut Paris Van Java. Kota dimana para inohong Belanda berwisata, menikmati keindahan alam Bandung yang sejuk, segar, sehat dan tentunya membuat betah untuk tinggal.
Kini, kalau kita perhatikan wilayah utara Bandung, pembangunan perumahan yang serampangan membuat daerah resapan air itu pun rusak. Tangkuban Perahu pun mau dimanfaatkan, tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Lihat juga sungai yang mengalir di Jawa Barat. Bisa dihitung jari, sungai yang masih bersih. Limbah pabrik dan rumah tangga yang tidak dikelola, telah merusak ekosistem alam. Maka, jangan marah jika bencana siap mengintai setiap saat.

Kearifan lokal
Manusia modern telah melupakan nilai hidup yang telah lama diajarkan nenek moyang. Nilai hidup itu bernama kearifan lokal. Pada level diskursus filsafat, kearifan lokal adalah salah satu model filsafat abadi (perennial). Disebut filsafat perennial, karena konsep dasarnya sudah ada semenjak manusia berfilsafat. Sementara, saat ini karena dominasi filsafat modern yang melupakan nilai-nilai tradisional, keberadaannya menjadi kurang mendapatkan perhatian. Saatnya manusia menyadari bahwa paradigma sains modern yang materialistik sudah tidak bisa menjawab persoalan.
Dalam konsep filsafat perennial, alam dan manusia dipahami sebagai makro dan mikro kosmos. Keduanya memiliki akar yang sama, produk kreatif Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, maka tak ada yang berhak merusak satu sama lain. Makro dan mikro hanya soal peran saja. Keduanya harus saling menjaga, melindungi dan membangun harmonisasi. Merusaknya berarti mengingkari hakikat awal penciptaan. Makro dan mikro harus saling melengkapi. Namun karena manusia diberi kewenangan untuk mengelola alam, yang dibolehkan adalah memanfaatkan dan tetap menjaga keberlangsungannya.
Wacana soal hubungan makro dan mikro kosmos menjadi perhatian para intelektual dunia dewasa ini. Agama dan nilai tradisional yang semula dipinggirkan oleh sains modern, kini mulai mendapatkan tempat dan ikut mewarnai. Muncul lah berbagai upaya mencari titik temu antara sains, agama dan nilai tradisional masyarakat.
Dalam level yang praktis, mengakar dari semenjak nenek moyang, kearifan lokal jangan dipandang sebelah mata. Dalam konteks keseimbangan alam, kearifan lokal yang berkembang mengajarkan arti penting menjaga alam. Konsep hutan larangan dan berbagai adat istiadat di masyarakat banyak memberikan informasi kepada kita bahwa alam itu diyakini harus dijaga sepenuhnya. Konsep huluwotan (sumber mata air), tempatnya jin atau makhluk ghaib lainnya adalah strategi pencegahan cerdas yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Tapi kini, manusia lebih jahat dibanding jin, sehingga tidak takut dengan berbagai pamali (larangan dalam masyarakat Sunda), akibatnya alam pun dirusak.
Misalnya dalam tradisi Sunda, ada pepatah yang menyatakan mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik itu harusnya yang perlu dipetik saja, mengambil harus memberitahu). Pepatah ini bukan hanya soal jangan mencuri kepada pemiliknya, tapi harus memperhatikan alam. Bukan hanya kepada pemiliknya, manusia. Tapi juga kepada pencipta awalnya, yaitu Tuhan. Jadi, ketika memanfaatkan alam, tanaman atau pun sumberdaya alam, harus diperhatikan keseimbangan ekologis, kelanjutannya (jangan mengambil yang masih kecil atau yang baru tumbuh), dan kelestariannya.
Secara global, soal ini menjadi isu perubahan iklim global (climate change). Kondisi dimana dunia ini sudah mulai rusak akibat rusaknya lingkungan. Hutan rusak oleh industri kertas yang serakah, laut rusak oleh sampah dan limbah nuklir, sungai dan air semakin rusak karena dimanfaatkan tanpa diperhatikan keseimbangannya.

Pendosa Besar
Sudah saatnya, kembali memperhatikan nilai agama dan kearifan lokal sebagai prinsip kearifan kepada alam. Ada beberapa prinsip kearifan kepada alam yang bisa dirumuskan.
Pertama, dalam konsep pembangunan, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, tapi manusia lah yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam. Alam diciptakan oleh Tuhan dengan prinsip kausalitas, qadha dan qodarnya. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.
Pembangunan tak boleh merusak alam. Jika memperhatikan prinsip awal kearifan kepada alam, tidak ada istilah pembangunan pemukiman dan kota di wilayah rawan gempa. Demikian juga, desain bangunan yang dibuat, tentunya akan menyesuaikan dengan potensi gempa. Bangsa Jepang terbukti mampu membuat model bangunan yang tahan gempa. Masyarakat kampung Naga, di Tasikmalaya terbukti memiliki kecerdasan lokal dalam memahami bencana gempa.
Prinsip berikutnya adalah, alam tidak pernah menghancurkan manusia, tapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat. Perusak alam, dalam perspektif teologi kearifan kosmologis adalah pendosa besar. Iman kepada qadha dan qadar salah satu pembuktian imannya adalah dengan tidak merusak alam.
Prinsip ketiga dalam konsep kearifan alam adalah bahwa makro dan mikro kosmos, yaitu lingkungan, tumbuhan, hewan, dan manusia harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya pada hakekatnya tetap. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat, akan merusak ekosistem belahan bumi lain.
Alam kita telah rusak, jangan terus menambah kerusakan. Kini, bukan hanya soal kita, tapi generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan?







Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.